Tentang Media Literasi
Belum ada hasil penelitian
yang menyebutkan tingkat literasi (melek media) di Indonesia. Tingkat literasi
biasanya berhubungan dengan tingkat pendidikan dan daya kritis masyarakat.
Makin tinggi pendidikan dan daya kritis seseorang makin tinggi tingkat
literasinya. Memang hipotesis seperti itu masih perlu diuji di banyak tempat
dan di berbagai kelompok masyarakat.
Menyaksikan perilakunya,
khalayak terbelah dua, khalayak pasif dan khalayak aktif. Jumlah khalayak pasif
jauh lebih besar ketimbang yang aktif. Mereka itu seperti diam saja menerima
informasi dari media massa, bahkan tidak jarang tampak seperti tidak berdaya.
Ini ada kaitannya dengan Teori Jarum Suntik. Begitu disuntik oleh pesan
komunikasi, isinya segera menjalar ke seluruh pelosok tubuh. Karena keperkasaan
media massa, seolah-olah masyarakat tidak berdaya menghadapinya. Mereka itu
mendapatkan pesan komunikasi seperti masuk dari satu telinga segera dikeluarkan
lewat telinga yang lain. Mereka yang aktif selain berinteraksi sesamanya juga
mengritisi media massa tempat asal informasi. Mereka ini sadar-media atau
sering disebut melek-media. Sedikitnya, jika memperhatikan teori di atas, tubuh
pasien (khalayak) mengadakan ”perlawanan,” tidak menyerah begitu saja pada obat
dan jarum suntiknya.
Di dalam ”melek-media,”
khalayak aktif tidak sekedar sebagai pemerhati atau pengamat tapi aktif
melakukan sesuatu jika media massa telah melakukan penyimpangan. Penyimpangan
ini bisa mengenai informasinya yang salah, kurang tepat, tidak seimbang, dan
semacamnya. Jika itu yang terjadi maka khalayak dapat melakukan protes. Protes
dilindungi oleh Undang-undangNo.40/1999, dua hak yang berhubungan dengan itu
adalah Hak Koreksi dan Hak Jawab.
Hak Jawab adalah hak
seseorang/sekelomplok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap
pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Pasal 5 Ayat 2 UU
40/1999) menyebutkan, pers wajib melayani Hak Jawab. Sering pers tidak segera
melayani Hak Jawab. Kalau pun melayaninya, kadang-kadang hanya di rubrik Surat
Pembaca.
Hak Koreksi adalah hak setiap
orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan
pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Pasal 5 Ayat 3 UU 40/1999
menyebutkan, pers wajib melayani Hak Koreksi. Hak ini sebenarnya sebagaian
tumpang tindih dengan Hak Jawab, hampir selalu dilayani pers di Surat Pembaca.
Pelanggaran atas Hak Jawab
oleh kalangan pers, selain berupa pelanggaran kode etik, juga pelanggaran atas
UU No. 40/1999 yang berimplikasi pada denda. Pelanggaran kode etik tidak
berakibat hukum, tanpa sanksi yang berat. Pelanggaran atas UU 40 adalah tindak
pidana yang berakitan dengan hukuman. Pasal 18 mengingatkan antara lain:
Perusahaan pers yang melanggar antara lain Pasal 5 Ayat 2YY. dipidana dengan
pidana denda paling banyak Rp 500 juta.
Media massa yang cukup banyak
melayani Hak Jawab dan Hak Koreksi adalah media cetak. Media elektronika,
lebih-lebih televisi, kita jarang menyaksikan melayani kedua hak tersebut
dengan baik. Boleh jadi, sajiannya sudah bagus, boleh jadi tidak tersedia ruang
dan waktu untuk itu.
Namun, masyarakat belum banyak
yang tahu bahwa mereka mempunyai kedua hak tersebut. Lebih daripada itu,
bahkan sebagian besar warga masyarakat tidak tahu, kemerdekaan pers adalah hak
azasi warga negara. Sosialisasi tentang ini perlu terus-menerus diberikan.
Selain mengenai isi dan sikap
media massa yang dikritisi, bisa juga fungsi media massa yang dikritisi.
Misalnya saja tentang fungsi media yang menyimpang atau kurang dijalankan
dengan semestinya. Kontrol sosialnya kurang, atau bahkan berlebihan dan semacamnya.
Tidak jarang pers kurang menjalankan fungsi watchdog-nya. Fungsi ini
penting karena membuat pihak lain yang dikontrol atau diawasi/dijaga menjadi
lebih hati-hati dalam bertindak.
Kekuasaan (pemerintah, DPR,
pengadilan, parpol, dll) perlu dijaga dan diawasi oleh pers. Lalu siapa yang
mengawasi pers? Masyarakatlah yang perlu mengontrol pers, salah satunya adalah media
watch. Lalu siapa pula yang mengontrol media watch? Makin banyak pihak
yang mengawasi, makin baik tampilan yang diawasi. Sesama pengawas juga akan
meningkatkan mutunya.
Ada yang selalu mengatakan, media
watch itu untuk pemberdayaan masyarakat. Media watch tidak perlu
ditujukan kepada media massa yang dikontrolnya. Mereka sudah punya bagian
litbang di dalam manajemennya. Pendapat tersebut tidak salah. Tapi, akan lebih
penting manakala kontrol media watch juga ditujukan kepada media yang
dikontrolnya. Berapa banyak sebaran media watch yang ditujukan kepada
masyarakat? Berapa besar hasil pemberdayaannya? Jumlahnya sangat sedikit. Jika
hasilmedia watch juga ditujukan kepada media yang bersangkutan ditambah
komunikasi yang intensif dengan pimpinan media itu, hasilnya akan lebih
bermanfaat.
Sekelompok kecil pemerhati
melakukan pengawasan terhadap media watch. Tampaknya media watch juga
tidak lepas dari framing, sekecil apa pun penyimpangannya. Misalnya, Pantau
agak radikal dan Jurnal Media Watch and Consumer Center(Habibie Center)
agak ”menyenangkan” Republika.
Khalayak aktif yang sangat
reaktif, tapi tanpa konsep literasi, dapat mengarah kepada tindakan yang
brutal. Kita mendengar ada ormas pemuda yang menduduki kantor redaksi surat
kabar di Surabaya (Jawa Pos). Ada pula yang datang beramai-ramai ke kantor redaksi
lalu menuntut agar redaksi meminta maaf tiap hari dimuat surat kabar yang
bersangkutan. Kasus ini melibatkan sejumlah sopir taksi terhadap pemberitaan
surat kabar di Jakarta (Rakyat Merdeka). Juga tindakan Satgas PDI-P dan Banser
pada Rakyat Merdeka menyangkut karikatur yang dimuatnya. Mereka, boleh jadi
bukanlah khalayak aktif dalam arti yang benar. Sangat mungkin, mereka sama
sekali tidak mengerti tentang literasi itu.
Orang-orang media watch adalah
khalayak aktif dengan tingkat literasi yang tinggi. Mereka menerbitkan hasil
pantauannya di dalam medianya yang sengaja dibuat untuk itu. Cukup banyak orang
yang mengikuti media hasil media watch tersebut dan mengritisinya.
Mereka ini termasuk khalayak super aktif.
(Agus Setiaman)